Searching...
Thursday, November 17, 2011

Pendidikan dan Ijazah, Mana yang Terpenting?


Saat itu, lelaki lugu itu belum terkenal… Ia keluar dari ruang ujian dengan langkah lesu. Kacamata tipis tak dapat menyembunyikan sorot kekecewaan yang memancar dari matanya. Ia kembali gagal mendapat selembar kertas bernama ijazah guru. Sudah berkali-kali ia ikut ujian, tapi selalu saja nilainya jelek. Bahkan nilai biologinya paling rendah sejagat raya. Itulah sebabnya, ia tak pernah diangkat menjadi guru tetap. Seumur hidup ia ‘hanyalah’ seorang guru honorer cadangan. 

Awalnya, ia sedikit kecewa dengan kenyataan ini, tapi lama kelamaan kekecewaan itu hilang. Ia mulai menyadari bahwa bukan lembaran kertas yang sebenarnya ia kejar. Ia terus berkarya dan berkarya. Sampai akhirnya dunia mengakuinya sebagai Bapak Genetika Modern. Lelaki hebat itu bernama Gregor Mendel. Pasti pernah dengar kan? 

Lebih dari satu abad kemudian, nama Mendel terus disebut-sebut di kelas biologi. Hukum Mendel pasti selalu masuk dalam soal ujian. Namun sayang, semangat Mendel tidak banyak ditiru oleh para praktisi pendidikan...

Sekarang, hampir semua orang justru sibuk memburu lembaran kertas yang bernama ijazah atau sertifikat itu. Buat apa? Tentu saja untuk mendapatkan status yang lebih baik dan ujung-ujungnya mendapatkan lembaran kertas lainnya: uang. Apakah ini pertanda, dunia pendidikan telah mulai bergeser menganut paham materialisme? Entahlah...

Apakah salah mengharapkan materi dan jabatan? Tidak salah, kita butuh uang untuk makan, minum, berpakaian, dsb. Namun materi tak layak menjadi landasan dalam hidup kita. Semua materi itu hanya sementara. Ia akan segera terkubur seiring dengan berlalunya waktu.

Coba kita lihat kembali tujuan akhir pendidikan nasional: membentuk generasi yang tanggap terhadap perubahan, berjati diri Indonesia, dan saleh perilakunya. Mungkinkah semua itu terwujud dengan alasan-alasan materi saja? Tidak mungkin!

Perlu alasan-alasan spiritual yang kuat untuk mewujudkan itu semua... Ada ‘Sesuatu’ yang lebih hebat dari lembaran kertas itu. Sesuatu yang bisa mewujudkan apapun. Sesuatu yang selalu memerhatikan kita. Sesuatu yang selalu memberikan hal terbaik untuk diri kita, walaupun hal itu tidak kita sukai. Sesuatu tempat menambatkan harapan-harapan kita… dan suatu saat, kita pasti kembali pada-Nya.

Tanpa spiritualitas, mana mungkin ada guru yang ikhlas mengajar, dengan atau tanpa kenaikan gaji. Mana mungkin ada guru yang mau meningkatkan kapasitasnya secara mandiri, tanpa sertifikasi. Sehingga, tak mungkin pula ada guru yang dapat mewariskan jati diri dan kesalehan. Tanpa spiritualitas, semuanya hampa, kering, dan semu...


sumber gambar:

2 comments:

 
Back to top!