" Wow hebat! IQ anda di atas 135! Anda jenius! Selamat! ". Eits tunggu sebentar. Apakah benar orang yang mengikuti tes IQ di atas 135 adalah orang-orang jenius? Apakah mereka lebih cerdas dari pada yang lain? Menurut saya
belum tentu benar. Dalam beberapa kasus, justru seseorang yang skor tes
IQ nya biasa saja lebih berprestasi dibandingkan mereka yang
ber-IQ tinggi.
Richard Wallace peneliti mental dan potensi
manusia dari Amerika mengatakan bahwa tes IQ hanyalah satu dimensi saja
dalam pendekatan tingkat pemberian/bakat (giftedness). Kebanyakan tes IQ
justru gagal dalam mengakomodasi jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang telah dirancang oleh disainer tes tersebut. Padahal kebanyakan orang-orang
genius justru memiliki pandangan yang ‘di luar kotak’. Mereka melihat
dari perspektif yang berbeda dari orang kebanyakan. Sehingga jelas
jawaban-jawaban mereka tidak mungkin dapat diakomodasi dari pilihan
jawaban yang disediakan di lembar tes IQ.
Disadari atau tidak,
sebenarnya tes IQ berpotensi untuk menjadi penghalang bagi suksesan
seseorang. Bayangkan saja ada seorang anak yang pada mulanya
percaya diri dan yakin bahwa ia cerdas, namun kemudian setelah ikut tes IQ ia
mendapat skor kategori 'kurang cerdas'. Apa yang akan dipikirkan anak tadi?
“Percuma saja saya belajar. Saya ini anak bodoh, cara apapun
tidak akan berhasil.”
Faktor Einstein
Einstein adalah sebuah
fenomena. Ketika masih sekolah tingkat dasar, orang
tuanya sempat dipanggil oleh Kepala Sekolahnya. Kepala sekolah
mengatakan kepada orang tuanya bahwa Einstein kesulitan dalam belajar
matematika. Walaupun ia hobi membuat model dan alat mekanik, tapi ia tetap
dianggap sebagai pelajar yang lamban.
Para pakar mengatakan
IQ Einstein memang di atas rata-rata, namun ia masih di
bawah para jenius seperti Thomas Aquinas, Darwin, Rene
Descartes, Goethe dan John Stuart Mill. Tetapi Einstein tetap dianggap
sebagai ilmuwan paling besar sepanjang sejarah pengetahuan. Apa yang
membuat Einstein berbeda dari mereka?
Seorang mantan profesor
dari Universitas Allahabad India, A.C. Bharadwaj, mengatakan bahwa
seorang genius adalah kombinasi dari 3 I, yaitu : intelektual,
imajinasi, dan inovasi. Wajar bila ada orang dengan IQ tinggi bisa
menghitung dengan kecepatan tinggi, namun ia tetap bukan Einstein.
Mengapa? Einstein tidaklah seperti kebanyakan ahli teoretik dan cendekia
lainnya. Ia tidak melihat dunia sebagaimana biasanya. Ia tidak
memandang dunia ini dengan pola ‘hitam-putih' yang standar.
Einstein
pernah berkata bahwa, “yang penting adalah tidak berhenti bertanya.” Ia
melanjutkan bahwa,” Keingintahuan memiliki alasan tersendiri untuk tetap
ada. Siapapun tidak akan dapat membantu kecuali berada dalam kondisi
takjub dalam kontemplasinya akan misteri keabadian hidup dan
keluarbiasaan struktur realitas.”
Hal serupa pernah
diungkapkan Marie Curie, orang pertama yang menerima dua hadiah nobel.
Marie Curie berusaha memahami dunia ini seperti seorang anak kecil. Ia
pernah berkata,”Seorang ilmuwan dalam laboratorium bukanlah seorang
teknisi, ia adalah seorang anak kecil yang melawan fenomena alam yang
membuatnya takjub seperti kisah dongeng yang sering dibacakan.”
Fenomena
di atas menunjukkan bahwa seorang dengan IQ tinggi saja tidak menjamin
ia akan menjadi otomatis sukses. Ternyata ada orang-orang yang
sebenarnya ‘biasa saja’ tidak begitu ‘gifted’ namun kenyataannya
memiliki prestasi melampaui mereka yang diberikan karunia ‘kelebihan’
IQ. Tingkat kecerdasan terbukti dapat ditingkatkan.
Sebagian orang
idealis mengatakan bahwa sesungguhnya manusia terlahir sama. Pendapat
tersebut ditentang oleh sebagian ilmuwan. Mereka, para ilmuwan
mengatakan hukum alam tidaklah egaliter. Setiap manusia terlahir dengan
potensi yang unik. Memang para ahli mengatakan bahwa ada korelasi antara
kecerdasan intelektual dan faktor keturunan. Namun terbukti sepanjang
sejarah tidak ada anak seorang jenius yang benar-benar sehebat ayahnya
atau sebaliknya.
Jadi, IQ saja tidak cukup untuk menjadi hebat!
(Bandung, 2008)
Monday, May 14, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment